September 10, 2025
IMG-20250825-WA0006

Oleh: Abadi Leko, ketua umum IPKBW

Bagaimana sebenarnya proses pembubaran DPR yang diatur dalam UUD 1945 di Indonesia? Pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia tidak dicantumkan secara jelas dalam UUD 1945 setelah perubahan, karena dalam sistem pemerintahan Indonesia, DPR tidak bisa dibubarkan, berbeda dengan negara-negara yang mempunyai sistem parlementer. Indonesia menggunakan sistem presidensial, di mana DPR setara dengan Presiden, tetapi dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda.

 

Apakah ada pembubaran DPR dalam sejarah Indonesia sebelumnya?
Dalam sejarah Indonesia, pernah terjadi pembekuan atau penghentian fungsi DPR, contohnya adalah:

 

1. Masa Demokrasi Terpimpin (1959)
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante (bukan DPR) dengan Dekrit Presiden, karena Konstituante gagal membuat UUD baru. Setelah itu, Soekarno mengaktifkan kembali UUD 1945 dan membentuk DPR-GR (DPR Gotong Royong), di mana anggotanya ditunjuk oleh presiden, artinya tidak melalui pemilu.

 

2. Masa Orde Baru dan Reformasi.
Selama Orde Baru, DPR tidak pernah dibubarkan secara resmi, tetapi kontrol politik yang ketat dari pemerintah membuat DPR tidak berfungsi secara independen.

Setelah Reformasi pada 1998, posisi DPR diperkuat dan pembubaran DPR secara konstitusional tidak lagi dimungkinkan.

 

3. Secara Konstitusional.
UUD 1945 (setelah amandemen) tidak memberikan hak kepada siapa pun, termasuk presiden, untuk membubarkan DPR.
Dalam (pasal 7C UUD 1945) dinyatakan bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR.

 

Kini, apakah kita bisa membubarkan DPR?
Satu-satunya cara konstitusional adalah dengan mengubah UUD 1945 agar bisa membubarkan DPR. Namun prosesnya tentu sangat panjang dan sulit.

 

Dalam pasal 37 UUD 1945, mekanisme perubahan UUD dijelaskan secara sederhana:

Usulan amandemen harus diajukan oleh:
1/3 anggota MPR
Dihadiri oleh:
2/3 anggota MPR yang hadir.
Dan disetujui oleh 50% + 1 dari anggota MPR yang ada.

Kita juga harus ingat bahwa sebagian anggota MPR adalah anggota DPR. Di sini muncul kesulitan; bagaimana mungkin anggota DPR bisa setuju untuk membubarkan dirinya sendiri?

 

Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit, ditambah kinerja DPR yang dianggap belum memadai, pemerintahan justru meningkatkan tunjangan DPR. Inilah yang menjadi alasan munculnya seruan untuk membubarkan DPR.

 

Namun, membubarkan DPR bukanlah solusi. Itu hanya mengubah orang, bukan memperbaiki sistem. Masalah yang sebenarnya seringkali bukan hanya terkait individu, tetapi terkait.

 

Budaya politik transaksional, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, serta sistem pemilu dan partai politik yang tidak responsif terhadap aspirasi masyarakat.

 

Seharusnya, pemerintah menyadari untuk segera memperbaiki sistem yang buruk dengan cara:
Reformasi sistem pemilu dan pendanaan partai, melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan, serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar pemilih lebih kritis.

 

Tanpa kesadaran ini, bangsa ini akan terus menjadi lahan subur bagi warga untuk menolak kebijakan pemerintah. Seperti bunga mawar yang tumbuh di tepi jurang, kita harus melewati jurang itu terlebih dahulu untuk mendapatkannya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *