September 10, 2025
IMG-20250719-WA0125

Oleh: Yusman Arifin, S.H.
Praktisi Hukum

Pulau Makian, salah satu permata kecil di tenggara Maluku Utara, seolah tak pernah masuk dalam radar prioritas pembangunan pemerintah daerah. Di tengah gembar-gembor visi Indonesia sebagai negara kepulauan, ironisnya, di Pulau Makian — jalan lingkar yang panjangnya tidak seberapa, bahkan hanya beberapa kilometer saja — tak kunjung tuntas diaspal (hotmix).

Saya merasa terpanggil menyuarakan ini, bukan semata karena saya berasal dari tanah ini, tetapi karena hati nurani saya terusik setiap kali mendengar keluhan masyarakat yang bertahun-tahun hidup dengan infrastruktur yang buruk, padahal kita telah merdeka lebih dari tujuh dekade.

Bayangkan, di era ketika pemerintah pusat membangun jalan tol puluhan hingga ratusan kilometer dalam waktu singkat, justru di Pulau Makian, membangun jalan hotmix hanya beberapa kilometer saja seolah menjadi pekerjaan maha berat yang tak kunjung selesai. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, ini adalah bentuk nyata dari ketimpangan pembangunan.

Jalan adalah urat nadi kehidupan masyarakat. Tanpa jalan yang layak, distribusi hasil tani dan tangkap nelayan terhambat. Akses pendidikan dan kesehatan pun terganggu. Ketika seorang ibu hamil harus dibawa keluar kampung dengan kendaraan roda dua melewati jalan rusak berjam-jam hanya untuk mendapatkan layanan medis dasar, maka di situlah kita melihat kegagalan negara hadir.

Saya ingin mengingatkan para pengambil kebijakan: pembangunan itu bukan soal besarnya anggaran, tapi soal keberpihakan. Mengapa jalan yang hanya beberapa kilometer di Pulau Makian tidak bisa diselesaikan, padahal kita tahu anggaran infrastruktur tersedia tiap tahun? Jangan sampai masyarakat berkesimpulan bahwa wilayah kepulauan seperti Makian tidak dianggap penting hanya karena jauh dari pusat kekuasaan.

Sebagai praktisi hukum, saya ingin menekankan bahwa kegagalan pembangunan infrastruktur di wilayah seperti Makian berpotensi melanggar hak-hak dasar warga negara. Ini menyangkut hak atas mobilitas, hak atas pelayanan dasar, dan hak atas keadilan pembangunan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Sudah waktunya pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara duduk serius dan bertanggung jawab atas keterlambatan ini. Tidak ada lagi alasan. Pulau Makian tidak minta fasilitas mewah, hanya minta jalan yang layak, air bersih, listrik yang stabil, dan pelayanan publik yang manusiawi.

Saya mengajak seluruh elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dan diaspora Makian di mana pun berada, untuk bersama-sama menyuarakan tuntutan ini. Jangan biarkan Pulau Makian terus menjadi korban dari kebijakan yang berat sebelah.

Kalau jalan saja tidak bisa diselesaikan, lalu pembangunan macam apa yang sebenarnya ingin kita bangun?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *