
Makian, Halsel, Fakta hukum.id – Dalam lembaran sejarah abad ke-12, Pulau Makian bukanlah pulau terpencil sebagaimana yang dibayangkan banyak orang saat ini. Justru sebaliknya, pulau ini merupakan pusat awal peradaban besar di wilayah Moloku Kieraha (Maluku Utara), khususnya pada masa kepemimpinan Kolano Said Husein yang bergelar Muhammad Al-Baqir, penguasa Negeri Komalo Besi. Di tangan Kolano Muhammad Al-Baqir, Makian menjelma menjadi sentra dagang dan budaya yang sangat penting di timur Nusantara.
Pulau Makian di masa itu memiliki tiga armada pelabuhan besar yang menjadi titik temu perdagangan antara bangsa Arab dan Cina. Kapal-kapal pedagang dari Timur Tengah dan Asia Timur secara rutin berlabuh di pelabuhan ini, menunjukkan betapa strategis dan makmurnya wilayah tersebut dalam jalur rempah-rempah dan penyebaran Islam awal.
Menurut tradisi lisan para Sangaji dan sesepuh desa Tahane, sejarah berdirinya kerajaan ini dimulai dari seorang raja bernama Raja Bara-Bara, penguasa wilayah Limau Dolik Uto Besi. Kata “uto” dalam bahasa Makian berarti “gunung”, merujuk pada gunung tinggi yang dahulu menjulang di ufuk timur semenanjung Asia Kecil, dan menjadi simbol dari kekuatan dan spiritualitas kerajaan.
Gunung Makian sendiri menyimpan kisah legenda unik yang berkembang di kalangan masyarakat Makian, Tidore, dan Ternate. Konon, karena saking tingginya, seekor elang raksasa pernah mencoba membawa puncak gunung tersebut untuk disambungkan ke Gunung Gapilamo (sekarang dikenal sebagai Gunung Gamalama di Ternate). Namun usahanya gagal, dan potongan gunung itu jatuh di depan Gam Rum, membentuk gunung yang kini disebut Gunung Maratara. Nama Makian sendiri, dalam bahasa tua Tidore dan Tobelo, sebelumnya dikenal sebagai Pulu Marahba atau Pulau Marah.
Hijrah Sejarah: Dari Makian ke Bacan
Salah satu langkah besar Kolano Muhammad Al-Baqir adalah ketika beliau memutuskan untuk hijrah ke Pulau Kasiruta, sebagai langkah awal ekspansi kekuasaan dan dakwah Islam. Dari sinilah cikal bakal lahirnya Kesultanan Bacan, yang dalam narasi masyarakat disebut sebagai Sigarah Astna Bacan—sebuah simbol peradaban Islam yang memadukan nilai-nilai lokal dan universal.
Di tanah baru ini, sang kolano memperkenalkan ilmu bacaan Al-Qur’an yang ia istilahkan sebagai limau Sigarah Astna Bacaan, yang kemudian disederhanakan menjadi Bacan. Bacan bukan sekadar tempat baru, melainkan titik balik peradaban Islam yang menyatukan berbagai suku di kawasan itu, dari Tobelo, Tidore, Ternate, hingga masyarakat pesisir dan gunung.
Sejumlah catatan sejarah, termasuk karya Adnan Amal dan Nadia dalam buku “Rempah-Rempah dan Sejarah Maluku”, menguatkan bahwa Muhammad Al-Baqir adalah pencetus perpindahan kekuasaan dari Makian ke Bacan, menciptakan kesinambungan antara pusat-pusat Islam di kawasan timur Nusantara.
Namun, kejayaan tersebut kemudian mendapat intervensi dari kekuatan kolonial seperti Portugis dan Belanda. Sejarah Kesultanan Makian perlahan digeser dan disamarkan, seolah-olah kerajaan besar itu tak pernah ada. Banyak jejak sejarah dan situs peradaban diabaikan atau dihapus dari narasi resmi kolonial.
Kini, pulau Makian berdiri dalam diam, menyimpan ratusan tahun sejarah yang nyaris terlupakan. Namun bagi mereka yang menggali dari cerita rakyat dan naskah tua, Makian bukan hanya sebuah pulau—melainkan pusat lahirnya peradaban Islam Timur Nusantara yang menyatukan suku, menyebarkan ilmu, dan membangun peradaban yang pernah menerangi kawasan Maluku dengan cahaya keilmuan dan keimanan.
Redaksi: Mito
Editor: Win