
Foto Safri Nyong Praktisi Hukum dan Pemerhati Tata Pemerintahan Daerah
Fakta Hukum id :
Oleh: Safri Nyong
Praktisi Hukum dan Pemerhati Tata Pemerintahan Daerah
Di atas panggung kekuasaan daerah, kembali tersaji satu lakon yang menggugah nurani hukum: pelantikan empat Kepala Desa di bumi Halmahera Selatan — Gandasuli, Goro-Goro, Loleo ngusu, dan Kuo — yang dilakukan di tengah tegaknya hasil Pilkades 2022 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bupati, dengan pena kebijakan di tangannya, menulis ulang takdir yang sejatinya telah selesai. Maka gemuruh pertanyaan pun bergema: di manakah letak kepastian hukum ketika hukum itu sendiri dikesampingkan oleh penguasa?
Hasil Pilkades bukan sekadar angka yang ditetapkan oleh panitia; ia adalah suara rakyat, gema kehendak yang lahir dari proses demokrasi di tingkat paling dasar. Ketika keputusan itu telah inkracht van gewijsde, maka hukum menutup pintu bagi segala bentuk intervensi. Namun, dalam kisah ini, pintu itu dipaksa terbuka oleh tangan kebijakan yang tak lagi berpijak pada norma, melainkan pada nafsu kekuasaan.
Hukum yang Terluka
Tindakan melantik Kepala Desa baru tanpa mencabut keputusan lama adalah ibarat menulis di atas batu yang telah dipahat rapi oleh hukum — bukan menambah keindahan, melainkan memecah harmoni.
Asas kepastian hukum yang mestinya menjadi bintang penuntun dalam tata pemerintahan kini terbungkus kabut kepentingan. Hukum yang seharusnya menjadi panglima, justru ditundukkan oleh tafsir kekuasaan yang keliru.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah memberi batas yang tegas: diskresi bukanlah jubah untuk menutupi kesalahan, bukan pula pedang untuk menebas keputusan yang sah. Ia adalah payung di tengah hujan kekosongan hukum, bukan alat untuk menghindari teriknya aturan.
Namun di sini, payung itu dibuka justru ketika langit sedang terang — seolah hukum dapat dibengkokkan atas nama kebijakan.
Penyalahgunaan Wewenang: Ketika Kuasa Tak Lagi Berpijak pada Nurani
Kekuasaan tanpa hukum adalah bencana, hukum tanpa moral adalah hampa.
Ketika seorang pemimpin menyalahi asas legalitas dengan dalih kebijakan, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan keangkuhan. Diskresi yang digunakan tanpa dasar hukum yang sah, hanyalah topeng dari penyalahgunaan wewenang — abuse of power dalam wajah paling telanjang.
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, telah digariskan empat syarat diskresi: tidak bertentangan dengan hukum, berlandaskan tujuan yang murni, berdasar alasan yang objektif, serta bebas dari konflik kepentingan. Bila satu saja unsur itu hilang, maka gugurlah keabsahannya — ibarat rumah hukum yang kehilangan fondasinya.
Cermin Retak di Wajah Pemerintahan
Pelantikan empat Kepala Desa versi baru itu bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah retakan di cermin pemerintahan daerah, yang memantulkan bayangan buram dari keadilan yang terciderai.
Masyarakat yang menyaksikan akan bertanya: apa arti hukum bila yang berkuasa dapat memutar balik keputusan yang telah final? Di situlah kepercayaan publik mulai luntur, setetes demi setetes, hingga kering bersama moralitas pejabat yang memudarnya nurani.
Dalam negara hukum, kekuasaan mestinya tunduk di bawah hukum — bukan sebaliknya. Pemerintah daerah seharusnya menjadi pelindung nilai-nilai keadilan, bukan penghapusnya. Mengabaikan hasil Pilkades yang sah berarti mengingkari hak rakyat dan menghapus makna demokrasi di akar rumput.
Kembali ke Jalan Terang
Hukum bukan sekadar pasal yang dingin di atas kertas. Ia adalah ruh keadilan yang hidup dalam setiap tindakan pemerintahan.
Maka, ketika hukum dilanggar, yang terluka bukan hanya teks undang-undang, melainkan nurani bangsa.
Sudah semestinya Bupati Halmahera Selatan kembali ke jalan terang — menghormati hasil Pilkades 2022 dan mengembalikan hak jabatan Kepala Desa kepada mereka yang sah.
Sebab dalam setiap tindakan pemerintahan, keagungan bukan terletak pada kekuasaan yang dimiliki, tetapi pada kerendahan hati untuk tunduk pada hukum.
Penutup
Jika hukum adalah pelita, maka kepastian hukum adalah cahayanya.
Dan ketika pelita itu dipadamkan oleh tangan penguasa, kegelapan yang lahir bukan hanya milik rakyat, tetapi juga milik pemerintahan itu sendiri.
Maka biarlah sejarah mencatat: bahwa di Halmahera Selatan, hukum pernah berteriak — bukan untuk menentang, melainkan untuk mengingatkan.
Bahwa keadilan tidak lahir dari keputusan sepihak, tetapi dari keberanian menegakkan kebenaran, walau harus melawan arus kekuasaan.
(Tim Redaksi)