September 10, 2025
IMG-20250822-WA0025

Samarinda, Faktahukum – Pengadilan Negeri Samarinda mencatat sejarah dengan membacakan putusan perdana terkait permohonan restitusi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, Kamis 21 Agustus 2025

 

Dalam amar putusannya, majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan dengan menghukum terdakwa membayar ganti kerugian (restitusi) sebesar Rp306 juta kepada keluarga korban.

 

Hakim juga menegaskan apabila terdakwa tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.

 

Laura Azani, SH, Penasihat hukum korban menyambut baik putusan ini meski belum sepenuhnya sesuai tuntutan. Menurutnya, keputusan hakim merupakan langkah awal yang penting dalam perjuangan pemulihan hak-hak korban.

 

“Putusan hakim ini harus benar-benar dijalankan sehingga istri korban dapat merasakan langsung manfaat dari restitusi. Jika tidak dipenuhi, maka tugas kami bersama media dan masyarakat sipil adalah terus menyuarakan pentingnya pemulihan korban,” ujar Laura Azani, Penasihat hukum korban.

 

Ia menegaskan bahwa korban merupakan tulang punggung keluarga yang masih muda. Kehilangan korban berarti hilangnya sumber penghasilan keluarga, sehingga negara berkewajiban hadir untuk memberikan perlindungan sebagaimana amanat konstitusi.

 

Tonggak Baru Perlindungan Hak Korban

Restitusi sebagai hak korban tindak pidana telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, KUHAP, serta UUD 1945. Namun, praktiknya jarang diterapkan. Karena itu, putusan di Samarinda ini dinilai sebagai preseden penting dalam penegakan hak-hak korban di Indonesia.

 

Meski begitu, terdapat catatan kritis terkait ketentuan kurungan pengganti. Jika terdakwa memilih menjalani pidana kurungan, keluarga korban tetap tidak mendapatkan kompensasi finansial. Hal ini dinilai berpotensi mengabaikan hak korban atas pemulihan.

 

Harapan ke Depan

Putusan restitusi perdana ini dipandang sebagai pengakuan yuridis atas kerugian yang nyata dialami korban dan keluarganya. Namun, tantangan terbesar ada pada tahap eksekusi. Para pemerhati hukum menilai diperlukan peran negara yang lebih aktif, misalnya melalui LPSK atau dana talangan negara, agar hak korban tidak bergantung pada kemampuan ekonomi terdakwa.

 

Putusan ini menjadi pengingat bahwa sistem peradilan pidana tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku, tetapi juga harus memastikan pemulihan korban dan keluarganya yang ditinggalkan.

 

Laporan: (Red)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *