
FAKTA HUKUM.ID – JAKARTA, WCALAWFIRM – Pernyataan seorang pengacara yang menyebut tindakan Bupati melantik kembali empat kepala desa dengan perumpamaan “seperti Nabi Isa yang menghidupkan orang mati” menuai sorotan publik. Tak sedikit pihak menilai ucapan tersebut berpotensi menyinggung umat Kristiani. Namun, praktisi hukum dan sebagai seorang Advokat, Wilson Colling menegaskan, kalimat itu secara substansi tidak memenuhi unsur tindak pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pernyataan yang dimaksud disampaikan oleh Safri kepada media pada 23 September 2025. Ia mengkritik langkah Bupati yang kembali melantik empat kepala desa yang sebelumnya sudah diberhentikan karena Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Ini seperti Nabi Isa yang menghidupkan orang mati. Empat kades itu secara hukum sudah ‘tidak ada’, tapi bupati justru melantik lagi seolah membangkitkan sesuatu yang sudah gugur secara hukum,” ujar Safri saat itu.
Menurut Wilson Colling , Praktisi Hukum, penyebutan tokoh suci tersebut harus dipahami dalam konteks retorika, bukan sebagai bentuk pelecehan terhadap ajaran agama. Kalimat itu, secara linguistik, termasuk dalam gaya bahasa metaforis atau perumpamaan hiperbolik yang lazim digunakan untuk menyoroti ironi atau absurditas sebuah tindakan. “Tidak ada niat merendahkan agama. Yang dikritik adalah kebijakan administratif yang bertentangan dengan hukum,” ujar Wilson Colling
Dalam perspektif hukum pidana, unsur penodaan agama baru terpenuhi apabila terdapat niat untuk menyerang, menghina, atau menyebarkan kebencian terhadap suatu agama, tokoh suci, atau ajarannya. Pernyataan Safri, menurut praktisi hukum, tidak memiliki tujuan tersebut. Justru, perumpamaan itu diarahkan untuk mengkritik tindakan pemerintah daerah yang dinilai melanggar prinsip legalitas karena mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Mens rea atau niat pelaku menjadi unsur penting dalam delik penodaan agama. Jika pernyataan tersebut dimaksudkan untuk mengkritik kebijakan, bukan merusak kehormatan tokoh suci, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,” jelas Wilson. Ia menambahkan, pendekatan yang lebih tepat terhadap kasus seperti ini adalah klarifikasi dan dialog publik, bukan kriminalisasi ekspresi.
Kasus ini mencerminkan tantangan yang kerap muncul dalam dinamika demokrasi Indonesia membedakan antara kritik sah terhadap tindakan pejabat publik dan ujaran yang benar-benar menghina keyakinan keagamaan.
Dalam negara hukum yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, penegakan hukum harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang dilindungi konstitusi. Kritik, sejauh tidak ditujukan untuk menyebarkan kebencian atau melecehkan keyakinan, merupakan bagian dari ruang demokrasi yang sehat.
Editor : Bung NUEL
Jurnalis Fakta Hukum.id