
OPINI
OLEH. Abi Ahmad (Ketua Komisariat GMNI UMMU) Ternate,
Faktahukum.id – Mengapa jadwal secara formal (Kalender Akademik) setiap tahun harus di tetapkan, bila dosen dapat sesuka hati mengajar tanpa peduli pada jadwal yang telah di ambil mahasiswa?
Fenomena yang terjadi sebagaimana dalam pertanyaan di atas bukan lagi rahasia umum, ini seringkali terjadi dalam lingkungan universitas meskipun tidak semua perguruan tinggi, dan tidak semua dosen melakukan hal demikian. Akan tetapi berdasarkan pengalaman pribadi dari penulis beserta riset yang di lakukan oleh penulis di beberapa perguruan tinggi yang ada di maluku utara, terkhususnya kota ternate. Penulis dapat menemukan persis apa yang kemudian di jadikan pertanyaan di atas. Dosen seringkali mengehendaki mahasiswa untuk mengikuti jam perkuliahannya yang tidak sesuai jadwal, terkadang itu terjadi saat hari libur mahasiswa.
Dan bahkan kejadian seperti di atas bisa di temukan dalam salah satu universitas yang saat ini penulis diami dalam menempuh Pendidikan Tinggi, Dimana praktek-praktek seperti disebutkan di atas masih terjadi. Dan mirisnya sebagaian besar para mahasiswa menormalisasikan hal tersebut, seakan mahasiswa hanyalah mahluk astral yang tiba-tiba muncul dari luar angkasa yang tak perlu di pahami, dan bisa di mengerti. Padahal mahasiswa bukanlah suatu entitas tersendiri yang berbeda seperti manusia pada umumnya. Mahasiswa juga manusia, punya perasaan, kebebasan, serta aktifitas lain yang juga produktif. Yang bisa jadi aktifitas tersebut jauh-jauh hari sudah di rencanakan, tetapi kemudian di batalkan semata-mata gegara dosen yang tiba-tiba memilih masuk ruanagan, seperti; “jelangkung datang tanpa di ketehui lalu menghilang tanpa tanda, atau seperti mantan yang datang tanpa di duga, pergi tanpa berita.” Lah kok curhat? Tapi, yah memang seperti itulah adannya.
Lantas kenapa hal yang tidak patut di benarkan, dan pula tidak wajib seperti itu masih saja di paksakan agar di ikuti? Jawabannya oleh penulis dapat di ringkas menjadi dua yakni sebagai berikut:
IPK TIDAK HARUS MENJELMA BERUPA FIRMAN, DAN DOSEN TIDAK HARUS BERPERAN LAYAKNYA NABI.
IPK atau singkatan dari Indeks Prestasi Kumulatif selalu di jadikan alasan klasik sebagai dalih pembenar, baik bagi mahasiswa maupun sebagaian dosen untuk patuh terhadap segala sesuatu hal yang meskipun itu tidak benar. Karena hal tersebut cenderung lebih mudah dijadikan sarana pembodohan dengan patokan IPK minimal harus 3,0. Yang berarti, mau dan tidak mau, ruangan kuliah yang seharusnya penuh perdebatan oleh pikiran-pikiran kritis mahasiswa dirubah menjadi lengang oleh dosen yang menganggap diri si paling Tahu, menjadikan ruangan kuliah layaknya tempat ibadah dan dosen sebagai pengkhutbahnya. Maka barangsiapa yang melanggar standarisasi IPK dengan berpikir kritis bahwa IPK tidak harus 3,0 karena kecerdasan tidak dapat di nilai berdasarkan penilaian IPK, sudah pasti mahasiswa tersebut secara pribadi akan berakhir di kutuk sebagai virus dan contoh terburuk angkatan sehingga harus di asingkan.
Dan perbuatan mengasingkan mahasiswa yang kritis selalu dilakukan sesama mahasiswa yang ketakutan berurusan dengan dosen pengampu, karena tentu tidak mau kalau keterlibatannya dalam membela kawannya sesama mahasiswa akan berdampak pada dikuranginya IPK. Sementara dosen pengampu sudah tentu mengambil kesempatan dalam kebingunan para mahasiswanya dengan memberikan tugas hafalan teori-teori, yang kadang-kadang teori itu tidak sama sekali berhubungan langsung dengan keseharian mahasiswa. Pada akhirnya mahasiswa di sibukkan dengan aktifitas yang sudah tidak lagi produktif, dengan bermalas-malasan di atas ranjang sambil scrool hendpone serta cangar-cengir sendiri melihat reel Tiktok yang tidak berfaedah.
BUKAN SEBUAH TRADISI. “MABA SEHARUSNYA MENYEMBAH SENIOR ?”
Mahasiswa sebagai elemen penerus generasi tua dan pemimpin masa depan, kini seringkali terlihat kaku dan cenderung takut melawan pada hal-hal yang seharusnya di lawan. Ini bagi penulis tidak terlepas dari konstribusi sesama mahasiswa, terutama sekali adalah Angkatan terdahulu (Senior Tingkat). Yang dengan sengaja, atau tanpa sengaja melakukan pengendalian sikap yang kata mereka perlu untuk dikendalikan, yang menurut hemat penulis, itu tak lain, hanyalah sebagai cara menaklukan sikap kritis dari mahasiswa baru terhadap lingkungannya yang sangat di takuti oleh mereka para mahasiswa mental penjajah, dan itu tujuannya jelas agar junior selalu patuh serta bersikap hormat kepada senior. Dan prilaku ini seringkali di poles dengan Bahasa manipulatife seperti; Senior sudah pasti lebih banyak pengalamannya, Sudah pasti lebih banyak merasakan apa yang saat ini di rasakan oleh para mahasiswa baru, sehingga tidak di ikuti maka harus di bentak atau bisa juga melalui kekrasan fisik. Bullshit !
Padahal belum tentu semua omong kosong yang mereka sampaikan itu bisa benar sepenuhnya. Akan tetapi mahasiswa baru di paksakan untuk harus mengikuti arahan mereka tanpa membantah, sebuah sikap konyol yang sampai saat ini masih tertanam kuat dalam diri hampir sebagian besar mahasiswa, yang itu kemudian di teruskan dari generasi, ke generasi, sampai ke generasi berikutnya. Sedangkan mahasiswa sebagai manusia sudah pasti selalu memiliki caranya sendiri untuk mengetahui sesuatu malah di nafikan, serta mahasiswa baru selalu saja dipaksakan untuk seragam dengan senior mereka.
Polanya pun seringkali sama yaitu; melalui fase pengkaderan dalam lingkungan kampus seperti Diklat dan sebagainya. Yang kebetulan di manfaatkan oleh senior-senior untuk unjuk diri (Pamer Kebolehan) dan itu terjadi bukan saja organisasi internal kampus bahkan organisasi ekstra kampus yang katanya anti terhadap sikap kepatuhan ala militerisme masih juga seringkali mempraktekan gaya militer. Dan semua prilaku orang-orang seperti itu, selalu saja menjadikan pengkaderan sebagai salah satu jalan alternatif untuk mendapat pemujaan serta membuat junior patuh terhadap senior. Yang seharusnya tujuan awal pengkaderan untuk melahirkan kualitas mahasiswa lebih baik dan membentuk kesadaran mahasiswa malah berakhir tragis dengan hanya menciptakan budak yang berlebel mahasiswa.
KEHADIRAN MAHASISWA SEBAGAI SOLUSI.
Mahasiswa merupakan kaum pelajar yang terpelajar dalam menempuh Pendidikan tinggi, berarti sudah seharusnya berani mengatakan tidak pada ketidakbenaran, bukan malah mendukung serta mendorong ketidakbenaran untuk di benarkan. Karena mahasiswa bukanlah obyek yang harus di ekploitasi, baik itu sesama mahasiswa, birokrasi kampus, ataupun korporasi-korporasi yang menindas.
Oleh sebab itu agar mahasiswa tidak hanya menjadikan ruang-ruang kuliah sebagai manifestasi perpanjangan tangan penindasan dan penaklukan.
Maka Mahasiswa menawarkan solusi sebagai berikut :
● Mahasiswa berani Mengimplementasikan Tri Darma Perguruan Tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
● Mahasiswa kembali membangun ruang diskusi yang kritis, demokratis dan rasional.
● Setiap Mahasiswa berkewajiban membangun kesadaran untuk berani bertanggungjawab atas tiap-tiap tindakan yang di lakukan oleh si mahasiswa secara pribadi.
● Mahasiswa berkewajiban Mendorong Proses Penyadaran terhadap masyarakat di daerah-daerah terpencil yang sulit di akses.
● Tidak berkompromi dengan pemerintahan dan birokrasi yang kolot.
Barangkali demikian solusi dari penulis agar mahasiswa tidak hanya di jadikan sapi perah bagi birokrat kampus dalam menopang keungan kampus. Dan solusi di atas dapat terjadi bila kekuatan mahasiswa di persatukan dalam satu barisan tanpa memandang golongan.
Penulis : Kaum Marhaen
—‐——————————–
Editor : Bung NUEL
Jurnali Fakta Hukum.id