
Oleh: Sahib Munawar. S.Pd,I.M.,Pd
Penangkapan 11 Warga Maba Sangaji oleh Aparat Kepolisian Dinilai Amburadul dan Kriminal. Mereka 11 Warga Masyarakat Maba hanyalah korban untuk mempertahankan hak tanah yang dirampok oleh korporasi yang dinilai merusak harkat dan martabat adat atas tanah ulayat.
Negara dalam hal ini pemerintah Daerah telah berselingkuh dengan korporasi terhadap beroperasinya/ kelola pertambangan yang merugikan masyarakat sekitar Maba Sangaji dengan mengusur tanah warga, tanpa sedikitpun merasa simpati terhadap apa yang menjadi milik masyarakat adat, Ironisnya mereka dengan suka rela tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan warga masyarakat Maba sangaji “apakah ini bukan namanya perampokan atau bahasa awamnya pencuri !
Air dan Tanah menjadi sumber kehidupan bagi warga Maba Sangaji, tapi itu di cemari oleh tangan tangan manusia yang jahil dan durjana, mereka menggunakan aparat Kepolisian sebagai alat negara untuk menteror dengan senjata, serta ancaman bagi warga Maba Sangaji, mereka di kriminalisasi dengan dalil pembangunan proyeknisasi tanpa melihat dampak negatif: bahwa itu akan merugikan masyarakat di sekitar Maba Sangaji Hal Tim.
Mereka Warga Maba Sangaji menolak atas eksploitasi tambang, sebab tanah, air serta hutan menjadi sumber kehidupan adalah sikap apologetik untuk mempertahankan hidup di tanah tempat dimana “DODOMI” mereka ditanamkan.
Para korporasi dan komprador serta aparat Kepolisian hanyalah numpang lewat, tanpa harga diri dan rasa malu datang untuk merampas yang bukan milik mereka.
Sejatinya negara tidak punya hak atas tanah yang menjadi milik warga, karena negara hanyalah simbol dan bukan dengan alasan melindungi serta diatur dengan undang undang pokok Agraria ( UUPA) justru sebaliknya merampok dengan jalan yang keji oleh aktor aktor yang tidak bertanggung jawab.
Dengan dalil bahwa sumber daya Alam seperti air, api ( Konteksnya Energi) dan tanah dikelola oleh Negara sebagai aset yang berharga dan dikelola dengan baik demi kesejahteraan rakyat tapi faktanya adalah omong kosong, kesejahteraan hanya milik kelompok dan elit politik kapitalis borjuis dan undang undang dibuat sebagai alat negara untuk melindungi para elite dan korporasi seperti undang undang Pertambangan Mineral dan batu bara (Minerba ) nomor 3 Tahun 2020 undang undang ini dibuat untuk kepentingan asing dan korporasi bukan demi kesejahteraan rakyat.
Rakyat hanya dijadikan budak sebagai buruh ditambang untuk memperkaya parah PT yang ada di perusahaan, bukan sebagai Tuan maka disinilah perbedaan kelas antara Borjuasi dan Proletariat ( Penindas dan tertindas) yang diciptakan oleh Sistem Kapitalis menjadikan rakyat sebagai komoditi.
Tanah bukan hanya sekedar hubungan hukum dan bukan hanya subjek tapi ia ada hubungannya dengan ekologis. Contohnya kalau manusia Mati ( Meninggal ) maka status kita seperti ulat ( Cacing) kita menjadi mineral dan dikelolah oleh tanah ,disini ada kesatuan yang inheren dengan mahluk hidup lainnya yang membedakan status kita dengan mahluk hidup lain adalah klaim atas tanah.
Dalam Filsafat Ekologi sebuah perspektif dari ” Ibnu Sina” Seorang Filsuf di dunia Muslim bahwa” semua mahluk hidup memiliki jiwa, seperti misalnya pohon ia memiliki jiwa, jika kita menebang pohon tanpa izin maka sama halnya kita telah membunuh jiwa yang terdapat pada pohon tersebut, karena status kita itu sama sebagai mahluk hidup yang memiliki jiwa.
Seandainya Pohon itu dapat ngomong maka ia akan menuntut keadilan didepan hakim untuk minta diadili ( Logika Ekologisnya Begitu)
Status Tanah itu diatur oleh Dua Fakultas, yaitu Diatur secara Natural dan Legal. Dimana lebih urgent apakah tanah harus diatur secara Natural atau legal oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Dalam teori hukum bahwa dimana ada masyarakat maka di situlah hukum berlaku.
Masyarakat disebut masyarakat jika status berdomisili ( tetap) maka disitu lahirlah lingkungan sosial, adat dan sejenisnya.
Ada pertanyaan yang sering muncul bahwa hak saudara terhadap tanah itu apa? Apakah hak garapan, sanketa dll. Seharusnya pertanyaan itu dibalik bahwa hak natural saudara dijamin atau tidak? Jadi sebenarnya Hukum datang terlambat setelah ada hubungan natural manusia dengan tanah, dan hukum adat tidak diatur dalam Perjanjian perdata dengan manusia tapi atas warisan dari turun temurun, jadi kedudukan manusia dan tanah itu tidak bisa dihentikan atau dihalangi oleh Negara. Kalau dengan Dalil bahwa Tanah ini milik Negara. Dalam hukum Agraria juga keliru di salah artikan bahwa Negara memiliki Tanah, Tugas Negara itu mendistribusikan Tanah bukan menjadi hak Milik, sehingga ada himbauan yang di tempelkan di kapling bahwa dilarang masuk tanah ini milik Negara.!. Pertanyaan kapan kita kasih hak Negara untuk memiliki tanah.!.
Maka disini, kalau Tanah kita dirampok seperti yang dialami oleh Warga Maba sangaji, maka sakit pertama adalah Batinnya, mereka tidak relakan Tanahnya di ambil, meskipun itu sudah di negosiasi atau juga belum dinegosiasi, karena ada hubungan batinnya dengan status tanah tersebut yang saling melekat dan meskipun itu ditawarkan dengan harga yang tinggi tapi mereka tidak mau harkat dan martabat di beli dengan nilai rupiah yang tidak sebanding dengan tanah warisan mereka.
Matinya Hati Nurani Pemimpin Daerah Maluku Utara” Seyogyanya sebagai pemimpin harus mengayomi dan melindungi warga masyarakat, tapi sebaliknya malah menutup mata dan membiarkan warga masyarakat dalam hal ini 11 warga masyarakat Maba sangaji yang di tangkap dan di zolimi oleh aparat Kepolisian, padahal mereka hanya mempertahankan hak tanah mereka yang mau di gusur oleh parah korporasi ” Rakyat mencurigai bahwa pemimpin daerah menutup mata dan tidak mau diadili, lantaran pemimpin daerah juga ikut berselingkuh dengan elite Politik Bourjuasi dan korporasi asing, sudah selayaknya kita menaruh krans bunga didepan kantor Gubernur dan dijalan sebagai sikap apologetik untuk mengucapkan “Matinya Hati Nurani” Pemimpin Daerah dengan sikap atas kekecewaan kami warga masyarakat terhadap pemimpin daerah yang membiarkan 11 tahanan warga masyarakat Maba Sangaji di Rutan Soasio ” Sungguh dzalim di atas kedzaliman , sebagai pemimpin membiarkan warganya derita batinnya, Dimanakah hati nurani sebagai pemimpin daerah.?.
Diantara 11 warga masyarakat Maba Sangaji yang ditahan, ada sosok orang tua yang sering disapa Abah Salasa/ Tete Salasa yang aktivitas keseharian hanya pergi ke kebung, setelah kembali dari kebung membersihkan diri untuk menunggu waktu sholat sembari meneguk secangkir kopi, namun apa yang terjadi setelah tanah yang menjadi hak milik telah Dirampok oleh tangan tangan jahil yang tidak beradab dan tidak tahu diri. Beliau juga tidak relah kalau hak milik nya dirampok, dengan sikap untuk mempertahankan, namun beliau dituduh tersangka dan ditangkap bersama sepuluh warga lainnya, sungguh dzalim dan tidak punya hati nurani atau matinya hati nurani mereka.
Oleh sebabnya itu sebagai penulis dan aktivis menghimbau kepada pemimpin daerah dan aparat kepolisian agar sekiranya warga masyarakat Maba Sangaji dibebaskan tanpa Syarat.
Sekian tiada gading yang tak retak semoga bermanfaat.