September 10, 2025
IMG-20250826-WA0001

Penulis: Ahmad Ukin, S.Pd

Pengesahan kenaikan tunjangan atau fasilitas baru untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat, sebuah gemuruh sunyi seketika menggema di seluruh pelosok Nusantara. Gemuruh itu bukan berasal dari aksi demonstrasi yang riuh, melainkan dari jeritan hati yang tertahan di ruang-ruang kelas yang atapnya bocor, dari keluh kesah yang terpendam di laboratorium universitas dengan peralatan usang, dan dari desahan frustrasi di meja kerja guru honorer yang menggantungkan hidup pada upah yang tak seberapa. Gemuruh itu adalah pertanyaan yang sama, yang mengusik rasa keadilan kolektif bangsa: Pantaskah?

 

Pertanyaan ini bukan sekadar soal perbandingan nominal rupiah. Ia adalah pintu masuk untuk membedah penyakit kronis dalam tubuh bangsa Indonesia: cara kita memandang, memperlakukan, dan menginvestasikan masa depan. Di satu sisi, ada para pendidik—guru dan dosen—yang merupakan tulang punggung pembangunan sumber daya manusia (SDM), ujung tombak dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Di sisi lain, ada para wakil rakyat yang seharusnya adalah pelayan publik, mandataris yang mengemban amanat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, termasuk kepentingan untuk memiliki sistem pendidikan yang unggul.

 

Opini ini akan membedah dengan saksama ketimpangan struktural dalam kebijakan penggajian antara kedua pilar bangsa ini. Penulis akan mengajukan data dan fakta untuk memetakan realitas, menganalisis akar ketidakadilan, dan yang terpenting, menawarkan solusi-solusi adil yang bukan hanya sekadar menuntut “naikkan gaji guru” tetapi merekonstruksi seluruh filosofi pengelolaan penghargaan bagi para pejuang ilmu pengetahuan dan para pengabdi publik.

 

Memetakan Jurang Ketimpangan

Untuk memahami betapa dalamnya jurang ini, kita harus berani melihat angka-angka yang berbicara. Perbandingannya tidak bisa dilakukan secara simplistik, tetapi harus mempertimbangkan mekanisme, dasar hukum, dan konteksnya.

 

Anggaran untuk anggota DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Dalam UU ini, gaji pokok hanyalah satu komponen kecil dari total pendapatan seorang anggota DPR.

 

Gaji pokok tertinggi untuk anggota DPR (pada level pembina utama atau golongan IV/e) adalah sekitar Rp 5,04 juta per bulan (data 2021). Ini bukan angka yang fantastis.Di sinilah letaknya. Tunjangan yang diterima sangat banyak dan bernilai sangat besar, sering kali jauh melampaui gaji pokok. Beberapa di antaranya termasuk: Tunjangan Kehormatan: Rp 4,2 juta/bulan, Tunjangan Komunikasi dan Intensif: Rp 12 juta/bulan, Tunjangan Kediaman: Rp 4,3 juta/bulan, belum lagi tunjangan operasional yang sangat besar, bisa mencapai Rp 100-150 juta per bulan per anggota, tergantung fraksi dan komisi. Tunjangan ini dimaksudkan untuk biaya tenaga ahli, riset, dan operasional kantor.

 

Ada juga fasilitas lainnya, yakni mobil dinas beserta sopir dan BBM, uang saku perjalanan dinas yang besar, fasilitas kesehatan kelas satu, dan yang paling kontroversial adalah dana pensiun yang sangat menggiurkan, meski mereka hanya menjabat selama 5 tahun.

 

Kenaikan untuk anggota DPR sering kali “terselubung” dalam bentuk peningkatan nilai tunjangan atau penambahan fasilitas, bukan melalui pengumuman kenaikan gaji pokok yang vulgar. Proses pengusulannya pun dilakukan oleh DPR sendiri, yang kemudian disahkan oleh pemerintah, menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang sangat jelas.

 

Bagaimana mekanisme dan besaran gaji guru dan dosen ?Nasib guru dan dosen diatur oleh seperangkat peraturan yang berbeda, dengan proses yang sering kali berliku dan penuh janji yang tertunda. Gaji guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengikuti skema gaji PNS umumnya berdasarkan golongan dan masa kerja. Seorang guru pemula (golongan III/a) mungkin hanya menerima gaji pokok sekitar Rp 2,5 – 3,5 juta. Yang menjadi penopang adalah Tunjangan Profesi Guru (TPG) atau yang dikenal sebagai “sertifikasi”. TPG ini nilainya setara dengan satu kali gaji pokok. Jadi, total pendapatan seorang guru bersertifikasi bisa berkisar antara Rp 5 – 8 juta untuk golongan bawah, dan bisa mencapai Rp 10-12 juta untuk golongan tinggi dengan masa kerja panjang.

 

Bagaimana gaji guru honorer ? Inilah tragedi kemanusiaan yang paling menyedihkan. Data Kemendikbudristek (2022) menunjukkan terdapat ratusan ribu bahkan jutaan guru honorer di Indonesia. Mereka digaji dengan honorarium yang sangat tidak manusiawi, sering kali hanya Rp 300.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan, tanpa tunjangan, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa kepastian kerja. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam pengertian yang paling tragis.

 

Bagaimana dengan Dosen? Nasib dosen sedikit lebih baik tetapi masih timpang. Gaji dosen PNS juga mengikuti skema yang sama. Yang signifikan adalah Tunjangan Sertifikasi Dosen dan Tunjangan Profesi. Namun, proses pencairannya sering kali terlambat. Dosen juga diharapkan untuk mencari dana penelitian dan pengabdian masyarakat melalui kompetisi yang ketat. Gaji dosen lektor kepala dengan masa kerja panjang bisa mencapai Rp 15-20 juta, tetapi ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan tanggung jawabnya dalam menciptakan inovasi dan calon-calon pemimpin bangsa. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Sangat tidak berpihak!.

 

Nilai Investasi Vs Nilai Pengabdian

Sekarang, mari kita bandingkan dengan sangat sederhana, seorang anggota DPR (tanpa menghitung tunjangan operasional yang besar) dapat dengan mudah memiliki pendapatan kotor minimal Rp 25-30 juta per bulan (dari gaji pokok + tunjangan kehormatan, komunikasi, dll), plus fasilitas senilai puluhan juta lainnya, plus dana pensiun miliaran rupiah.

 

Seorang Guru Senior Bersertifikasi dengan pengalaman 30 tahun mungkin hanya membawa pulang Rp 10-12 juta per bulan.Seorang Guru Honorer harus bertahan hidup dengan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Ketimpangan ini menjadi lebih perih ketika kita mempertimbangkan Return on Investment (ROI) atau nilai kembali dari investasi bagi bangsa.

 

ROI Seorang Guru/Dosen yang digaji layak akan mencetak puluhan dokter, insinyur, seniman, dan wirausaha setiap tahunnya. Seorang dosen yang fokus penelitian dapat menciptakan teknologi yang menyelesaikan masalah bangsa, memulai startup unicorn, atau meraih paten internasional. Investasi pada mereka adalah investasi langsung pada peningkatan kualitas SDM, pengurangan kemiskinan, dan percepatan pembangunan. ROI-nya bersifat multiplier effect dan berjangka panjang.

 

Bagaimana ROI seorang anggota DPR sebagai lembaga legislatif? Kinerja DPR diukur dari produk undang-undang yang berkualitas, fungsi pengawasan yang efektif, dan fungsi anggaran yang prudent. Sayangnya, kinerja DPR sering kali dinilai publik buruk. Banyak UU yang disahkan kontroversial dan tidak pro-rakyat, pengawasan terhadap pemerintahan lemah, dan kasus korupsi masih membayangi. Dengan anggaran yang sangat besar (total anggaran DPR RI tahun 2023 mencapai Rp 9,6 Triliun), publik kerap mempertanyakan ROI yang didapat. Apakah kualitas demokrasi dan tata kelola negara kita sudah sepadan dengan triliunan rupiah yang dikeluarkan?

 

Dari data ini, terlihat jelas bahwa terjadi inversi prioritas yang sangat fatal. Kita lebih mudah mengucurkan triliunan rupiah untuk sebuah lembaga yang outputnya sering dipertanyakan, daripada memastikan para arsitek masa depan bangsa hidup dengan layak dan bermartabat.

 

Argumentasi di Balik Tuntutan Keadilan

Ketimpangan angka di atas bukan hanya tidak pantas, tetapi juga tidak rasional, tidak etis, dan berbahaya secara strategis bagi masa depan Indonesia.

 

Prinsip keadilan sosial, yang menjadi dasar negara Pancasila, menuntut bahwa penghargaan (kompensasi) harus sebanding dengan kontribusi dan tanggung jawab yang dipikul. Seorang guru SD di pelosok Papua yang harus berjalan kaki 2 jam, mengajar 3 kelas sekaligus di ruangan bambu, dan menjadi orang tua kedua bagi puluhan anak, jelas memikul tanggung jawab moral dan sosial yang jauh lebih berat daripada—maaf—seorang anggota DPR yang mungkin hanya rapat beberapa jam dan kemudian pulang. Namun, imbalan yang diterima justru terbalik. Ini adalah ketidakadilan yang nyata.

 

Seluruh literatur ekonomi pembangunan sepakat bahwa investasi dalam pendidikan adalah investasi dengan imbal hasil tertinggi bagi sebuah negara. Ekonom peraih Nobel, James Heckman, membuktikan bahwa setiap $1 yang diinvestasikan dalam pendidikan usia dini menghasilkan return $7-$10 melalui peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya sosial (seperti kriminalitas). World Bank dan IMF terus menekankan pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan bagi negara berkembang seperti Indonesia.

 

Dengan membiarkan guru hidup dalam kekurangan, kita sebenarnya mensubsidi kebodohan dan kemiskinan masa depan. Guru yang stres secara finansial tidak akan bisa fokus mengembangkan metode pengajaran yang kreatif. Mereka mungkin akan terpaksa mencari pekerjaan sampingan, yang menguras energi dan waktu yang seharusnya untuk mempersiapkan materi ajar. Akibatnya, kualitas pembelajaran rendah, menghasilkan lulusan yang kurang kompeten, yang pada akhirnya menghambat daya saing bangsa di kancah global. Kita sedang menggunting sendiri masa depan kita. Sadarkah kita? bahwa kita sendiri yang merusak masa depan bangsa kita sendiri.

 

Anggaran negara adalah amanat rakyat yang harus dikelola dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Penggunaan anggaran untuk membiayai tunjangan dan fasilitas mewah bagi DPR harus dipertanyakan akuntabilitas dan efektivitasnya. Apakah setiap rupiah dari tunjangan operasional Rp 100-150 juta/bulan itu benar-benar digunakan untuk membiayai tenaga ahli dan riset yang berkualitas? Ataukah hanya menjadi “uang saku” tambahan yang tidak jelas pertanggungjawabannya? Sementara itu, permintaan anggaran untuk menambah guru PNS atau meningkatkan tunjangan guru honorer selalu terbentur pada alasan “efisiensi anggaran” dan defisit APBN. Ini adalah paradoks yang memalukan.

 

Profesi guru dan dosen adalah profesi yang mulia, tetapi kemuliaan tidak boleh hanya dijadikan simbol tanpa makna. Ketika seorang guru harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, martabat profesinya tercabik-cabik. Hal ini menyebabkan erosi motivasi intrinsik dan brain drain. Guru-guru terbaik akan meninggalkan profesi mereka untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Dosen-dosen brilian akan lebih memilih bekerja di luar negeri atau di sektor swasta yang menghargai talenta mereka. Indonesia kehilangan asset terbaiknya karena ketidakmampuan untuk menghargai mereka.

 

Mengapa Solusi yang Ada Selalu Mentok? Efek Pencitraan?

Pemerintah dan DPR sendiri sebenarnya tidak buta dengan masalah ini. Namun, solusi yang ditawarkan sering kali bersifat tambal sulam, reaktif, dan penuh dengan kepentingan politik.

 

Program Sertifikasi Guru/Dosen adalah lompatan besar dan patut diacungi jempol. Namun, dalam implementasinya, program ini terjebak pada birokrasi yang berbelit. Pencairan tunjangan sering kali molor, proses sertifikasi sendiri dikritik hanya menjadi “proyek mengumpulkan portofolio” alih-alih benar-benar meningkatkan kompetensi.

 

PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) adalah upaya untuk menyerap guru honorer. Namun, lagi-lagi, prosesnya sangat ketat dan banyak guru honorer lama yang gagal dalam tes kompetensi karena minimnya pelatihan dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Mereka dihukum karena sistem yang membiarkan mereka mengajar puluhan tahun tanpa memberikan kesempatan pengembangan yang memadai.

 

Kenaikan gaji PNS (termasuk guru dan dosen) memang terjadi secara bertahap, tetapi nilainya sangat kecil dan tidak sebanding dengan inflasi dan biaya hidup. Kenaikan 1-2% per tahun hanyalah sebuah lelucon jika dibandingkan dengan kenaikan tunjangan DPR yang bisa langsung melonjak puluhan persen.

 

Akar masalahnya adalah kelemahan political will dan dominasi politik populisme jangka pendek. Menaikkan gaji guru secara signifikan membutuhkan anggaran yang sangat besar (triliunan rupiah) dan hasilnya tidak akan terlihat dalam satu atau dua tahun. Sebaliknya, membangun jalan atau bagi-bagi bantuan sosial memberikan efek pencitraan yang instan. Investasi pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak “sexy” bagi para politisi yang orientasinya hanya pada pemilihan umum 5 tahunan.

 

Selain itu, DPR sebagai lembaga yang seharusnya memperjuangkan anggaran untuk pendidikan justru memiliki konflik kepentingan. Mereka akan cenderung mengalokasikan anggaran untuk kepentingan mereka sendiri atau untuk proyek-proyek fisik yang bisa menjadi sumber “uang proyek”. Memperjuangkan kenaikan gaji guru tidak memberi keuntungan materi langsung bagi mereka.

 

Menyadari kompleksitas masalahnya, solusinya tidak bisa parsial. Diperlukan sebuah pendekatan holistik dan sistemik yang melibatkan rekonstruksi filosofi, politik, dan teknis.

 

Langkah pertama dan terpenting adalah mengubah mindset seluruh pemangku kebijakan, dari Presiden, Menteri Keuangan, anggota DPR, hingga kepala daerah. Guru dan dosen bukanlah cost center (pusat biaya) yang harus ditekan, melainkan investment center (pusat investasi) utama bangsa. Setiap rupiah yang dialokasikan untuk mereka harus dilihat sebagai benih yang akan tumbuh menjadi pohon ekonomi yang kuat di masa depan. Kampanye publik besar-besaran diperlukan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa memuliakan guru adalah memuliakan masa depan Indonesia.

 

Pembentukan lembaga independen yang terdiri dari pakar ekonomi, tokoh pendidikan, perwakilan profesi, dan unsur masyarakat sipil untuk menetapkan gaji dan tunjangan untuk semua pejabat negara, termasuk DPR, menteri, dan hakim. Lembaga ini yang akan melakukan kajian komprehensif, membandingkan dengan beban kerja, tanggung jawab, dan standar hidup layak, sehingga tercipta formula yang adil. Kenaikan gaji DPR tidak boleh lagi ditentukan oleh DPR sendiri.

 

Sebagian besar tunjangan DPR, terutama tunjangan operasional, harus dikaitkan dengan indikator kinerja yang terukur dan transparan. Misalnya, jumlah RUU yang dihasilkan, kualitas riset yang dilakukan, kehadiran dalam rapat, dan yang terpenting, tingkat kepuasan publik yang diukur melalui survei independen. “No performance, no pay.”

 

Selain itu, perlu revisi UU MD3 untuk menyederhanakan struktur tunjangan dan fasilitas DPR, menghapus yang tidak perlu (seperti dana pensiun fantastis untuk masa kerja singkat), dan mengalihkan anggarannya untuk sektor pendidikan.

 

Pemerintah harus membuat “Peta Jalan Peningkatan Kesejahteraan Guru dan Dosen 2025-2034” yang jelas dan ambisius. Roadmap ini memuat target nominal gaji/tunjangan yang ingin dicapai secara bertahap setiap tahun, dengan sumber pendanaan yang jelas. Ini menunjukkan komitmen jangka panjang.

 

Selain itu, perlu memperbaiki skema PPPK dengan memberikan pelatihan intensif bagi guru honorer sebelum tes, bukan sekedar menyaring mereka. Targetkan dalam 5 tahun, tidak ada lagi guru honorer yang digaji di bawah UMR.

 

Membentuk dana abadi untuk pendidikan, mirip dengan LPDP tetapi fokusnya pada peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru/dosen. Dana ini bisa diisi dari berbagai sumber, termasuk dari penghematan anggaran belanja barang dan foya-foya pemerintah, hasil pengelolaan sumber daya alam, atau sumbangan dari korporasi yang peduli pendidikan.

 

Juga ada tunjangan khusus daerah terpencil yakni guru dan dosen yang bertugas di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) harus menerima tunjangan yang jauh lebih besar, bisa 2-3 kali lipat dari tunjangan profesi, sebagai kompensasi atas tantangan yang mereka hadapi. Ini akan mendorong distribusi guru yang lebih merata.

 

Selain gaji tetap yang layak, berikan insentif bonus yang besar untuk guru dan dosen yang menunjukkan kinerja luar biasa, menghasilkan penelitian berdampak tinggi, menciptakan metode pembelajaran inovatif, atau memenangkan olimpiade sains internasional.

 

Selain itu juga harus Corporate Social Responsibility (CSR) untuk Pendidikan dapat diarahkan pada perusahaan-perusahaan besar untuk tidak hanya membangun infrastruktur sekolah, tetapi juga memberikan beasiswa dan tunjangan tambahan bagi guru berprestasi di sekitar area operasi mereka.

 

Gerakan Sosial “Adopt a Teacher” dapat membangun platform dimana masyarakat secara perorangan atau berkelompok dapat berkontribusi langsung untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer di daerahnya.

 

Sebuah Pilihan Sejarah

Pada akhirnya, pertanyaan “pantaskah?” ini adalah sebuah pilihan sejarah. Apakah kita memilih untuk menjadi bangsa yang menghamba pada kekuasaan dan simbol-simbolnya, atau bangsa yang cerdas yang berinvestasi pada akal budi dan ilmu pengetahuan?

 

Kenaikan gaji guru dan dosen yang setara bahkan melebihi kenaikan gaji DPR bukanlah tentang iri hati atau perampasan. Itu adalah tentang keadilan restoratif. Itu adalah tentang membayar hutang budi kita pada para pahlawan yang sesungguhnya. Itu adalah tentang mengembalikan logika yang terbalik: bahwa mereka yang membentuk masa depan harus lebih dihargai daripada mereka yang hanya mengatur masa kini.

 

Seorang guru yang sejahtera akan mengajar dengan hati yang tenang. Seorang dosen yang bermartabat akan meneliti dengan pikiran yang jernih. Dari ketenangan dan kejernihan itulah akan lahir generasi yang percaya diri, kreatif, dan berintegritas—generasi yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar besar, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam setiap denyut nadi kehidupannya.

 

Menaikkan gaji guru dan dosen bukanlah sebuah biaya yang memberatkan, melainkan investasi paling cerdas yang pernah bisa dilakukan oleh sebuah peradaban. Sudah saatnya Indonesia memilih untuk berinvestasi pada kecerdasannya sendiri. Karena hanya bangsa yang menghargai gurunya yang layak disebut bangsa yang beradab. (****)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *