September 11, 2025
IMG-20250809-WA0028

Oleh: M. Tamhier Tamrin : Mahasiswa Fakultas ilmu Budaya

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun seharusnya adalah benteng terakhir perjuangan mahasiswa. Ia bukan hanya simbol, melainkan instrumen politik mahasiswa untuk melawan ketidakadilan, membela hak-hak sipil, dan memperjuangkan nasib mahasiswa serta rakyat di sekitarnya. Namun hari ini, BEM Unkhair justru tampak lebih seperti agen perjalanan yang mengatur agenda ke luar kota, hadir di forum-forum nasional, sibuk foto dan rapat di hotel-hotel besar, ketimbang turun langsung ke gelanggang persoalan yang menimpa mahasiswa dan masyarakat Maluku Utara.

 

BEM kita seperti pejabat luar negeri, lihai berpidato di panggung nasional, tetapi tidak tahu bahwa di halaman kampus sendiri, mahasiswa sedang menghadapi masalah besar yang dibiarkan membusuk.

 

BEM Momentum, Bukan BEM Perjuangan:
Gerakan mahasiswa seharusnya lahir dari kesadaran, keberpihakan, dan keberanian membaca realitas di sekitarnya. Namun pola gerakan BEM Unkhair hari ini justru didikte oleh momentum nasional. Begitu ada instruksi dari BEM SI atau seruan aksi nasional, tiba-tiba kita melihat mereka bergerak cepat: bikin poster, rapat dadakan, dan orasi. Tapi setelah itu? Senyap.

 

Pertanyaannya sederhana, di mana BEM ketika Maluku Utara sedang diguncang masalah-masalah nyata? Laut kita dikotori limbah nikel, hutan kita digunduli untuk jalan tambang, dan kampung-kampung nelayan dipaksa minggir demi kepentingan korporasi. Semua ini terjadi di depan mata kita, tetapi BEM Unkhair jarang terdengar bersuara.

 

Seakan-akan perjuangan mahasiswa diukur dari seberapa sering kita mengikuti agenda pusat, bukan dari seberapa berani kita melawan ketidakadilan di rumah sendiri. Pola gerakan seperti ini hanya menjadikan BEM Unkhair sebagai “kantor cabang” dari BEM pusat, bukan sebagai kekuatan organik yang lahir dari denyut nadi mahasiswa Unkhair.

 

Kampus Dibungkam, BEM Diam:
Universitas Khairun hari ini sedang mengalami pembusukan demokrasi. Orasi bebas dilarang. Menyampaikan pendapat di area kampus bisa berujung teguran, bahkan ancaman. Pihak birokrasi lebih nyaman melihat mahasiswa sibuk kuliah tanpa suara, ketimbang berani mengkritik kebijakan.

 

Kampus kita sedang didorong menjadi “pabrik pencetak sarjana patuh” yang takut mempertanyakan kekuasaan. Dan ironisnya, BEM yang seharusnya menjadi garda terdepan membela kebebasan berpendapat, malah memilih diam.

 

Diam ini berbahaya. Diam berarti memberi izin pada birokrasi untuk terus menekan. Diam berarti membiarkan mahasiswa kehilangan ruang demokrasi. Kalau hari ini orasi bebas dilarang dan kita diam, besok diskusi pun bisa mereka bubarkan, dan lusa, kita hanya akan punya ruang bicara di kafe, bukan di kampus. BEM yang takut membela kebebasan berpendapat hanyalah penonton dalam drama kekuasaan. Mereka ada di panggung, tetapi tak berani bicara. Mereka hanya mengangkat tangan untuk berfoto, bukan untuk menunjuk wajah penindas.

 

Perkaderan Mandek, Regenerasi Mati:
Perkaderan adalah jantung organisasi mahasiswa. Tanpa kaderisasi yang baik, organisasi akan mati perlahan. Dan hari ini, banyak ormawa di Unkhair sudah di ambang koma. Upgrading kepengurusan baik di tingkat HMJ dan BEM.Fakultas dilakukan seadanya, pendidikan kader hanya formalitas, bahkan ada ormawa yang tidak lagi melaksanakan karena “tidak ada dana” atau “tidak ada waktu.

 

BEM seharusnya menjadi penggerak, bukan penonton. Menghidupkan perkaderan bukan sekadar kewajiban, tetapi strategi bertahan hidup gerakan mahasiswa. Sebab tanpa kader yang militan, kritis, dan berani, kita akan kehabisan generasi yang mampu melanjutkan perjuangan. Yang tersisa hanyalah mahasiswa yang pandai selfie di forum nasional, tetapi gagap ketika berhadapan dengan masalah rakyat.
Kaderisasi bukan hanya tentang teori pergerakan, tetapi juga soal pembentukan kesadaran politik, keberanian melawan ketidakadilan, dan keberpihakan pada rakyat. Kalau BEM sibuk mengejar panggung nasional tapi membiarkan internalnya mati, itu sama saja dengan membangun rumah mewah di luar negeri sementara rumah sendiri roboh.

 

UKT dan IPI: Mahasiswa Dicekik, BEM Sibuk ikut forum nasisonal:
Setiap semester, cerita yang sama berulang. mahasiswa terancam cuti, bahkan drop out, karena tak mampu membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal) atau IPI (Iuran Pengembangan Institusi). Biaya ini tidak hanya memberatkan, tetapi juga sering kali tidak transparan penggunaannya.

 

BEM seharusnya mengadvokasi kebijakan kampus, menuntut transparansi, dan memperjuangkan skema keringanan biaya untuk mahasiswa. Namun yang kita lihat, BEM lebih sibuk membuat poster ucapan selamat untuk pejabat kampus ketimbang menggelar aksi menuntut keadilan.

 

Jika BEM menganggap masalah biaya kuliah hanya sebagai isu “biasa”, berarti mereka telah memisahkan diri dari realitas mahasiswa yang hidup pas-pasan. UKT dan IPI bukan sekadar angka di kertas ia adalah garis pembatas antara mahasiswa yang bisa melanjutkan kuliah dan yang harus berhenti. Mengabaikan ini berarti mengkhianati mandat mahasiswa.

 

Kembali ke Medan Perjuangan, atau Ditanggalkan:
Kritik ini bukan berarti menolak peran eksternal BEM. Representasi di forum nasional tetap penting. Tapi apa gunanya punya nama di luar kalau kita tak punya pengaruh di dalam? Apa gunanya hadir di rapat besar nasional kalau mahasiswa di kampus sendiri tak merasa dibela?

 

BEM Unkhair harus berhenti menjadi turis politik. Berhenti menjadi event organizer untuk rapat nasional. Berhenti menjadi penggemar hashtag tanpa aksi nyata.

 

Kita butuh BEM yang; berpihak pada mahasiswa, bukan birokrasi kampus. Berani melawan perampasan ruang hidup di Maluku Utara. Menghidupkan perkaderan dan ruang diskusi kritis. Memperjuangkan UKT dan IPI yang adil.
Membela kebebasan berpendapat tanpa takut dibungkam.

 

Kalau BEM tidak bisa kembali ke medan perjuangan, maka mahasiswa Unkhair harus siap mengambil alih ruang itu. Karena sejarah mengajarkan, kekuasaan yang lupa pada rakyatnya harus direbut kembali. BEM bukan milik segelintir elit mahasiswa. BEM adalah alat perjuangan seluruh mahasiswa. Dan kalau alat itu tumpul kita akan mengasahnya, atau membuangnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *