September 10, 2025
IMG-20250617-WA0100(1)

Oleh: Sahib Munawar, S.Pd.I., M.Pd
Kamis, 19 Juni 2025 — Ternate, Jendelahukum.id

faktahikum.id – Ironi demokrasi dan kapitalisme lokal tergambar nyata di Provinsi Maluku Utara, saat Hotel Sahid Bella, sebuah hotel berbintang empat yang terletak di Kelurahan Jati, Ternate Selatan, dialihfungsikan menjadi kantor Gubernur. Bangunan mewah itu bukan sekadar tempat menginap para wisatawan, melainkan milik pribadi dari Gubernur Maluku Utara saat ini, Sherly Juanda. Yang mengejutkan, hotel tersebut masih menanggung utang pajak perhotelan senilai sekitar Rp 2 miliar, meskipun sebagian telah dibayarkan sebesar Rp 700 juta pada Agustus 2024 lalu.

Sementara itu, kantor Gubernur Maluku Utara yang sah dan dibangun dengan anggaran besar dari APBD, terletak di kawasan strategis puncak Gosale, Sofifi, justru dibiarkan kosong, terbengkalai, bahkan oleh warga setempat disebut “lebih sering dihuni makhluk halus” dibanding para pejabat pemerintahan.

Hal ini memicu pertanyaan publik: Mengapa aset negara yang monumental justru diabaikan, sementara aset pribadi pemimpin daerah dimaksimalkan sebagai ruang kekuasaan?

Kapitalisme Lokal dalam Perspektif Marx

Dalam konteks ini, saya mencoba melihatnya melalui kacamata kritis Karl Marx, khususnya dalam karya monumentalnya Das Kapital. Marx menjelaskan bahwa kapitalisme murni memungkinkan individu—termasuk elite penguasa—untuk menentukan arah investasi, kepemilikan, serta mekanisme produksi dan distribusi tanpa batas intervensi negara. Kapitalisme menjadi sistem di mana pemilik modal menguasai tidak hanya alat produksi, tetapi juga ruang publik, bahkan dalam praktik pemerintahan.

Hotel Sahid Bella, yang kini difungsikan sebagai kantor Gubernur, tampaknya telah menjadi alat untuk mempertahankan modal pribadi dan sekaligus menghindari kewajiban struktural seperti penyelesaian utang pajak. Jika ditelisik lebih jauh, tindakan ini bukan hanya memindahkan lokasi administrasi pemerintahan, tetapi juga merepresentasikan konversi antara ruang bisnis dan ruang kekuasaan.

Menurut Marx, nilai lebih (surplus value) adalah hasil dari kerja buruh yang melebihi nilai upah mereka. Nilai lebih itu dikapitalisasi kembali oleh pemilik untuk mempertahankan sirkulasi bisnis. Dalam konteks ini, Hotel Sahid Bella dijadikan pusat administrasi pemerintahan bukan hanya karena fasilitasnya, tetapi juga diduga sebagai cara mempercepat pemasukan guna menutupi kewajiban utang serta mempertahankan arus kas usaha pribadi.

Negara dan Kekuasaan: Terjebak dalam Kapitalisme Feodal?

Lebih jauh lagi, terdapat dilema struktural antara posisi pejabat pemerintahan dan elite ekonomi. Para pegawai administrasi, ASN, dan pejabat daerah tampak enggan bersuara atau mengambil sikap. Mereka lebih memilih diam dan mengikuti arus. Fenomena ini mengingatkan kita pada representasi karyawan dalam sistem kapitalistik: tunduk pada struktur hierarkis demi keamanan kerja, meski seringkali dibayar rendah dan tak memiliki ruang negosiasi.

Bahkan secara satir, beberapa masyarakat menyebut kondisi ini sebagai pemerintahan gaya “Cinderella”, di mana pesona pribadi pemimpin menjadi alat hegemoni yang membungkam kritik, menggoda loyalitas, dan membelokkan etika birokrasi dari pelayanan publik ke arah pengabdian pada kekuasaan.

Marx pernah menggambarkan kapitalis sebagai aktor dalam tragedi Yunani, terjebak dalam sistem yang mereka ciptakan sendiri. Mereka bukan jahat secara moral, tetapi tunduk pada hukum besi akumulasi kapital: terus berkembang atau hancur. Maka, tidak heran jika ruang publik digunakan sebagai alat ekspansi bisnis, dan gedung pemerintahan yang megah justru dibiarkan terbengkalai—karena tidak menghasilkan nilai tukar yang menguntungkan secara langsung.

Apa Jalan Keluarnya?

Sebagai akademisi dan warga negara, saya menyarankan agar kantor Gubernur Maluku Utara yang resmi di Sofifi harus segera direnovasi dan difungsikan kembali sesuai amanat konstitusi. Ruang publik harus dikembalikan kepada rakyat, bukan dikomersialkan atau dikonversi menjadi kepanjangan tangan bisnis pribadi.

Negara tidak boleh kehilangan wibawa dalam menghadapi silang antara kepentingan publik dan kepemilikan pribadi. Sudah saatnya kita mempertanyakan: Apakah kita sedang hidup dalam sistem demokrasi, atau justru dalam kapitalisme feodal yang dibungkus dalam jubah kekuasaan?

Redaksi: Mito
faktahukum.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *