September 10, 2025
IMG-20250719-WA0125

Oleh : Yusman Arifin, SH, Praktisi Hukum 

Jakarta, FaktaHukum.id – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, secara resmi meluncurkan program nasional Koperasi Desa Merah Putih yang mencakup lebih dari 80.000 koperasi di seluruh Indonesia. Peresmian program ini digelar di Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah, dan menjadi tonggak penting dalam memperkuat ekonomi rakyat melalui model kolektif berbasis gotong royong.

Presiden Prabowo dalam pidatonya menegaskan bahwa koperasi adalah lambang kekuatan kolektif rakyat. Ia mengibaratkan koperasi sebagai seikat lidi: satu lidi mungkin lemah, tetapi ratusan lidi yang bersatu mampu menyapu bersih berbagai tantangan.

> “Koperasi bukan hanya sistem ekonomi, tapi filosofi kekuatan rakyat. Jika orang kaya membentuk PT atau holding, maka rakyat kecil harus difasilitasi membangun koperasi. Di sinilah negara harus hadir,” tegas Prabowo.

 

Kolaborasi Lintas Sektor

Keberhasilan peluncuran koperasi merah putih ini merupakan hasil kerja kolaboratif lintas sektor. Program ini digerakkan oleh Satgas Koperasi Merah Putih yang melibatkan lebih dari 15 kementerian dan lembaga, serta didukung oleh berbagai BUMN strategis seperti Pupuk Indonesia, Pertamina, Bank BRI, Bank Mandiri, Telkomsel, IF Food, dan Bulog.

Fokus utama program ini adalah mendorong kemandirian ekonomi desa di berbagai sektor, mulai dari pangan, pertanian, UMKM, kesehatan, logistik, hingga keuangan inklusif. Seluruh koperasi desa kini telah diintegrasikan ke dalam sistem digital nasional untuk mempercepat pelayanan dan efisiensi operasional.

Dukungan Regulasi dan Tantangan Tata Kelola

Dalam pelaksanaannya, program ini didukung oleh Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 Tahun 2025 yang menetapkan empat sumber pendanaan awal, yaitu dari APBN, APBD, Dana Desa, dan sumber lain yang sah serta tidak mengikat.

Meski demikian, tantangan besar tetap menghantui implementasi program berskala nasional ini. Beberapa kalangan akademisi dan pakar keuangan mengingatkan tentang kurangnya regulasi teknis yang rinci, terutama di tingkat desa.

Ekonom Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Malik, menyebut bahwa skema kucuran dana pinjaman dari Himbara (Himpunan Bank Negara) kepada koperasi desa memiliki risiko tinggi. Ia menyoroti pendekatan top-down pemerintah yang belum disertai kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia di level desa.

> “Program ini bisa jadi masalah jika tidak ada mitigasi risiko yang kuat. Banyak desa belum memiliki kapasitas manajemen bisnis dan keuangan yang mumpuni. Kita belum punya aturan teknis yang mengikat dan sinkron antarlembaga,” jelas Malik.

 

Sorotan terhadap Pembiayaan dan Skema Kredit

Sejumlah isu juga mencuat terkait skema pembiayaan koperasi. Informasi yang beredar bahwa setiap koperasi akan memperoleh modal awal Rp3–5 miliar, ternyata tidak bersifat mutlak. Mekanisme penyaluran dana akan disesuaikan dengan kondisi, kapasitas, dan kesiapan masing-masing koperasi.

Pakar hukum ekonomi mengingatkan, jika kredit dari Bank Himbara dibuka secara luas tanpa kesiapan memadai, maka risiko gagal bayar sangat besar. Apalagi jika koperasi dipaksa memutar dana tanpa perencanaan bisnis yang jelas.

Selain itu, wacana penggunaan Dana Desa sebagai jaminan kredit menimbulkan pertanyaan hukum. Penggunaan dana publik sebagai agunan memerlukan regulasi ketat dan pengawasan yang berlapis.

Kunci Keberhasilan Ada pada Satgas Pusat

Pengamat kebijakan publik menyatakan bahwa kunci sukses program Koperasi Merah Putih ini terletak pada Satgas pusat, bukan pada perangkat desa. Karena sifatnya top-down, tanggung jawab perencanaan, regulasi, hingga pengawasan berada pada pemerintah pusat.

Satgas diminta segera menerbitkan Peraturan Bersama Menteri yang mengatur tata kelola koperasi, sinergi antar-BUMN dan BUMD, serta skema keuangan yang aman. Pemerintah juga didorong untuk melakukan mapping kesiapan desa dan mengembangkan proyek percontohan di desa-desa yang dianggap siap.

Tak kalah penting, diperlukan pendampingan hukum kepada koperasi dalam menghadapi risiko hukum, termasuk kemungkinan kredit bermasalah atau sengketa pengelolaan dana.

Dari Euforia Menuju Substansi

Saat ini, program koperasi merah putih masih berada pada tahap euforia pembentukan kelembagaan dan legalitas. Belum banyak menyentuh substansi bisnis yang menjadi tujuan akhir koperasi, yakni menciptakan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi warga desa.

Tanpa aturan teknis yang jelas, pendampingan yang memadai, dan pengawasan yang ketat, program ini terancam menjadi proyek ambisius yang gagal di lapangan.

Namun, bila dikelola dengan benar, koperasi merah putih bisa menjadi tonggak sejarah baru pembangunan ekonomi nasional dari akar rumput – dari desa, oleh desa, dan untuk rakyat.

Penulis: Redaksi Mito

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *